1. Latar Belakang
Di Era reformasi hingga saat ini perbincangan good governance
selalu menjadi perbincangan menarik baik dari jajaran politisi,
akademisi, birokrat maupun kalangan mahasiswa. Dalam dunia kampus,
Isu-isu mengenai good governance seolah menjadi isu yang penting dibahas
dalam rangkaian studi administrasi Negara konsep-konsep mengenai
pemerintahan yang baik pun diajarkan seperti demokratisasi,
desentralisasi, deregulasi, debirokratisasi, reinventing government dan
lain sebagainya.
Ditingkat
birokrasi konsep good governance juga tak kalah penting, berbagai
diklat diadakan dalam melakukan apa yang disebut Grindle sebagai Capacity Building,
diklat-diklat ini diadakan untuk menunjang pengembangan sumber daya
manusia dalam menciptakan pemerintahan yang baik ditingkat birokrasi.
Pejabat-pejabat politik juga tidak mau kalah, good governance menjadi
senjata utama kampanye untuk mempengaruhi kontituen agar dipilih dalam
bursa pemilihan jadi tak ayal kemudian kalau seorang Koffi Anan mantan
Sekjen PBB menyatakan bahwa good governance is perhaps the single most important factor in eradicating poverty and promoting development.
Sejalan dengan ini konsep good governance dalam lingkungan
pemerintahan dirasa parsial digunakan atau memang konsep good governance
yang tidak sesuai dalam lingkungan pemerintahan saat ini. sebut saja
di tingkat intitusional banyak bermunculan kebijakan-kebijakan yang
mengundang investasi. Pemerintah local maupun nasional tidak segan-segan
membuka lebar gerbang investasi bahkan banten menjadikannya sebagai
motto “Banten the Gate Investment” yang tentu saja pararel
dengan konsep good governance dengan reinventing government-nya, hal ini
tentu harus mendapat kritikan mengingat konsep demikian cenderung pro
pasar yang akan dikhawatirkan terjadinya pendalaman kapitalisme yang
justru akan menjajah masyarakat dengan munculnya sebuah imperialisme
gaya baru karena orientasi masyarakat secara langsung dalam good
governance tidak terasa. Infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan
dan hal lain yang menyentuh masyarakat secara langsung kurang mampu
diakomodir dengan baik oleh pemerintahan dengan semangat good
governance-nya.
Dari hal diatas yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana memahami kembali good governance dengan melibatkan triangle relation yaitu
State, Market dan Civil society dan merubah pandangan Good Governance
dari sisi praktis kearah pemberdayaan masyarakat secara langsung,
kesejahteraan masyarakat dan moral.
2. Sejarah Good Governance
Good governance di Indonesia mulai popular sejak era reformasi
bahkan mengalahkan reformasi politik yang yang pernah popular ditahun
1998, dengan adanya symbol good governance ini seolah-olah Indonesia
masuk dalam standar dunia. Perkembangan Good governance di Indonesia
tidak terlepas dari sejarahnya yang panjang di Negara-negara dunia.
Dalam konteks masa lalu, governance tidak dikenal. Hal ini
karena perubahan pandangan mengenai governance yang semula adalah
government. Dalam jurnal yang ditulis oleh sutoro eko yang tentunya juga
akan banyak mewarnai tulisan saya, kita bisa melihat beberapa tahapan
sejarah singkat dalam perkembangan Good Governance,
- Tahap I dilalui dengan konsolidasi pemerintahan yang demokratis didunia barat pada abad 20,
- Tahap ke II adalah pasca perang dunia yang justru peran Negara semakin kuat, basis-basis politik, ekonomi dan control terhadap masyarakat begitu kuatnya, program-program welfare state menjadi semakin luas. Negara menjadi omnipotent. Bahkan bukan sesuatu yang baru Negara menjadi kendaraan tangguh dalam membawa perubahan social
- Tahap III kekuatan Negara yang tidak diragukan dalam memanajerial masyarakat, membawa barat kepada orientasi yang lain yaitu Negara-negara dunia ketiga, Negara dunia ke III menjadi perhatian perluasan devlopmentalisme atau moderenisme, namun sangat disayangkan karena disisi lain kawasan-kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin justru muncul rezim otoritarian, sehingga konsep modernisasi yang ditawarkan sebagai pendorong birokrasi yang rasional ditolak mentah karena mereka ditopang oleh aliansi birokrasi sipil, militer dan masyarakat bisnis internasional.
- Tahap IV pada dekade 1980-an menjadi angin segar bagi perkembangan demokratisasi dan modernisme, karena kenyataan pahit diterima oleh Amerika ketika reagen naik dan di inggris Margaret naik harus mengahadpi problem serius yaitu krisis ekonomi dan financial. Kepercayaan masyarakat terhadap Negara akhirnya menjadi sirna karena Negara bukan sebagai solusi tapi akar dari masalah krisis. Akhirnya perkembangan pesat terhadap “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan modernisme yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.
- Tahap V atau tahap finishing tahun 1990-an proyek demokratisasi yang sudah diperjuangkan masa lalu berkembang luas ke santero negeri yang ditandai dengan cara pandang baru terhadap pemerintahan yakni ditandai munculnya governance dan GOOD GOVERNANCE
Namun belum selesai sampai disini, konsep governance dan GOOD
GOVERNANCE dari IMF dan World Bank awalnya hanya dimaknai sebagai
kinerja pemerintahan yang efektif mengingat pengalaman masa lalu bagi
pemerintahan yang buruk yang tentunya juga punya sejarah panjang saat
Asia dan Afrika merdeka sekitar 1960-an lembaga donor ini (world bank)
banyak memberikan bantuan untuk membangun asistensi badan pemerintahan
dan pelatihan pejabat public yang diberi nama institution building. Baru pada tahun 1990-an konsep ini mengalami revitalisasi menjadi institutional capacity building dibawah rubric Governance for development. Gagasan
governance yang di promosikan oleh badan internasional ini dalam
rangka mendorong reformasi ekonomi dan demokratisasi politik yang
diarahkan pada pemerintahan yang baik.
Seiring
dengan perjalanan waktu, konsep Good Governance diarahkan pada proses
multi arah yang sebelumnya setelah tahun 1990-an pun masih pada konsep
yang lama hanya terpaku pada pemerintah, namun saat ini konsep tersebut
bersifat multiarah artinya tidak sebatas pada pemerintah namun juga
diluar dari pemerintah itu sendiri (masyarakat dan swasta).
Jadi kesimpulannya governance tidak sekedar pemerintah atau
pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan namun lebih dari
itu bagaimana kekuasaan dan kewenangan ini harus bersinerngi dan
berinteraksi dengan actor diluar dari pemerintahan. Artinya bagaimana
pemerintah mampu menjadi fasilitator demi kepentingan actor-aktor
tersebut dengan membuat kebijakan dan lain sebagainya.
3. Nilai-nilai Bebas Good Governance
Karena Good Governance merupakan sebuah nilai yang bebas maka
wajar banyak individu dan lembaga memaknainya secara beragam tentang
konsep Good Governance. Bank Dunia memberi batasan Good Governance
sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat
diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya.
Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan
kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang
demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial
yang memadai, penciptaan lingkungan yang bershabat dengan pasar bagi
pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan
terhadap aturan hukum, penghargaan
terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.
Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance
sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara
dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah
negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh
partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan
pemerintahan. Secara tegas, UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good
governance:
1) partisipatif;
2) transparan dan bertanggungjawab;
3) efektif dan berkadilan;
4) mempromosikan supremasi hukum;
5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat; dan
6) memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam proses pembuatan keputusan.
Dari pemaparan diatas sesungguhnya Good Governance adalah
sebuah nilai yang memang sudah berkembang sebelumnya, konsep
partisipatif, transparent, bertanggung jawab, efektif efisien, supermasi
hokum adalah sebuah konsekuensi logis sebuah Negara. Nilai-nilai
seperti ini bersifat bebas, bebas dalam artian mempunyai definisi dan
pengertian yang berbeda tergantung pada dasar pemikiran yang dianut oleh
sebuah Negara.
Satu
contoh, konsep keadilan masa lalu bagi orang-orang sosialis komunis
adalah apabila semua memliki hak sama tanpa terkecuali namun bagi
orang-orang liberal keadilan adalah tergantung bagaimana individu,
sehingga bersifat relative. Sehingga sutoro eko memaknai Good
Governance tidak lebih sebagai sebuah manifesto politik baru yang
identik dengan libertarian governance yang secara filosofis dan
sosiologis ada sebuah garis yang konsisten, bahwa Good Governance
maupun libertarian governance lebih berbasis pada individu ketimbang
komunitas; lebih menekankan kompetisi bebas yang dibingkai rule of law
ketimbang kehendak bersama; lebih cocok dengan kepemilikan pribadi
ketimbang kolektif; dan lebih mengutamakan prinsip one people one vote
ketimbang musyawarah.
Hal
ini jelas membawa dampak buruk, muatan-muatan ideologis yang terkandung
dalam Good Governance ini menjadi alat jajahan baru bagi Negara-negara
dunia I terhadap Negara dunia ke-III yang tidak lain adalah
memanfaatkan bahan baku yang secara rata-rata dimiliki oleh
Negara-negara dunia ke-III, Indonesia dalam hal ini memiliki kekayaan
alam yang luar biasa, potensi tambang yang dimiliki Indonesia
menempatkan Indonesia kedalam peringkat 6 dunia dan potensi SDA lainnya
namun dalam pengelolaannya justru swasta menjadi domianan dalam hal
ini, padahal UUD 1945 Pasal 33 menyatakan dengan tegas “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini
Negara bukan berarti tidak mengamalkan UUD tersebut namun pengaruh
ideology yang dianutnya membawa pada pemahaman yang berbeda tentang
konsep “pengelolaan” . bentuk penguasaan ini adalah dengan cara
privatisasi sebagai bentuk perwujudan good governance karena Good
Governance hendak membawa pada konsep denegaranisasi dengan semangat
demokrasi dengan mengusung relasi antara Negara dan pasar.
Secara ide Good Governance dinilai lebih menarik disbanding
teori modernisasi yang dahulu banyak dikecam oleh Negara-negara, dari
sisi ini Good Governance belajar dari kegagalan teori tersebut kalau
modernisasi yang menjadi objek adalah Mayarakat dan pasar yang
dikendalikan Negara, sekarang Good Governance lebih mengorientasikan
Negara sebagai “terdakwa” sehingga dipaksa untuk membagikan Sumber Daya
kepada masyarakat, namun mayarakat dalam hal ini justru di dominasi
para swasta (capital).
4. Transformasi Good Governance (Islamic Governance)
Seperti dijelaskan sebelumnya, Good Governance tidak lain
merupakan sebuah manifestasi politik moderenisme baru yang bersumber
pada ideology liberalism, kekuatan ideology yang dibangun dalam Good
Governance membawa pengaruh nilai-nilai Good Governance dalam proses
aplikasinya. Watak ideology liberalism yang cenderung pada kebebasan
individu dan ekonomi kapitalisnya justru akan membuka akses pasar yang
tidak terkendali, hal ini akan membawa dampak buruk mengingat akses
masyarakat terutama golongan miskin akan lemah karena mereka tidak
mempunyai kemampuan partisipasi dalam proses politik dan ketidakmampuan
kompetisi dalam sector ekonomi.
Sejarah
telah membuktikan bahwa kapitalisasi yang besar-besaran telah
menghancurkan tanah ulayat, membuat involusi pertanian, meminggirkan
masyarakat dan memperbesar kemiskinan struktural.
Indonesia cukup menjadi contoh dalam hal ini apalagi ketika
dibukanya kerjasama AFTA (Asian Free Trade Area) yang banyak mematikan
pasar-pasar local karena ketidakmampunannya dalam berkompetisi, padahal
sector inilah yang memperkuat pasar dalam negeri.
Untuk itu dibutuhkan solusi yang menghentikan proses ini,
sosialisme-komunis sudah mejadi sejarah, ketika hancurnya uni soviet,
liberal-kapitalis saat ini tidak berorientasi pada masyarakat. Islam
menjadi jalan satu-satunya terhadap solusi Indonesia yang sejahtera
dengan sistem pemerintahan yang baik, hal ini mengingat secara
demografis Indonesia memiliki 202,83 juta penduduk dengan 88,2%
penduduknya adalah muslim serta menyumbang muslim dunia 12,9% (pew
research center. 2009), kalau jumlah ini mengaku muslim tentunya
masyarakat yakin betul akan Allah sebagai pengatur manusia dan Rasulnya
sebagai penyampai, artinya ia meyakininya bahwa hanya Allah yang mampu
memberikan jaminan akan manusia, untuk itulah nilai-nilai yang
dijalankan dalam pemerintahan yang baik harus bersumber pada nilai-nilai
akidah yang menjadi konsekuensi kita dalam beragama dan menjalankan
aturan-aturannya, konsep diatas sperti keadilan, transparansi dan
hal-hal lainnya harus di dasarkan pada konteks islam sebagai sebuah
mabda (ideology) yang akan menjadi dasar setiap perbuatan dan sistem.
Berikut ulasannya
Adil / Equity
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.. (An-Nahl :90)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil… (Al-Maidah : 8)
Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang adil (Al-Maidah :48)
Adil
dalam konsep Islam berbeda dengan adil dalam konsep GG, Dalam konsep
Islam keadilan berdasarkan Keimanan seorang bukan pada peraturan
semata, dan keimanan bisa di wujudkan manakala semua orang yakin dan
paham tentang konsekuensi beragama.\
Partisipasi Masyarakat / Participation
Dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah (Al-Imran
:109)
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka (Assyura : 38)
Seandainya kalian berdua telah telah bersepakat dalam suatu Masyurah maka aku tidak akan menyalahi kalian berdua
Imam ahmad riwayat dari Abu Said al-Khudzri yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Pernah Bersabda :
Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran dihadapan pengusa yang dzalim.
Ini
menegaskan bahwa islam benar-benar mewajibkan bentuk partisipasi,
bahkan ditegaskan mengatakan kebenaran kepada penguasa merupakan salah
satu jihad, namun partisipasi dalam masyarakat ini tidak semata-mata
atas dasar hawa nafsu manusia belaka, namun cenderung pada koridor yang
ditetapkan dalam al-quran dan hadist.
Tegaknya Supermasi Hukum / Rule of Law
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (5 :49)
Jika
dua orang yang sedang bersengketa duduk di hadapanmu (meminta
keputusan hukum) maka janganlah engkau berbicara (memutuskan
perkaranya) hingga engkau men-dengarkan dari pihak lain sebagaimana
engkau telah men-dengarkan dari pihak pertama. (HR Ahmad).
Hokum
benar-benar dijunjung dalam Islam, karena keadilan menjadi sumber
utama dalam Islam, namun supermasi hokum ini dilakukan apabila hokum
yang dijalankan benar-benar bersumber pada Al-Quran dan hadist.
- Transparansi / Transparency
Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri) [An-nisa : 83].
Transparansi dijunjung untuk memberikan agar masyarakat dapat melakukan control terhadap pemerintah.
Efektifitas dan Efisiensi / Effectiveness and Efficiency
Dan Katakanlah: "Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan (at-taubah : 105) .
Kata
amal, menurut Raghib al-Isfahani adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja atau niat. Dalam al-Quran, kata ini bersifat netral
artinya dipakai untuk perbuatan baik dan perbuatan yang bersifat jelek,
Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat
dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaikmungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal
mungkin.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal.. (HR Muslim dari Syadad bin Aus)
Ihsân
(kebaikan, kesempurnaan) dalam melaksanakan pekerjaan jelas
diperintahkan oleh syariah. Untuk merealisasikan kebaikan/kesempurnaan
dalam melaksanakan pekerjaan, harus terpenuhi tiga hal berikut dalam
manajemennya:
- Kesederhanaan aturan; karena kesederhanaan aturan itu akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, sementara aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan.
- Kecepatan dalam pelayanan transaksi; karena hal itu akan mempermudah orang yang memiliki keperluan.
- Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan professional
Profesionalitas kerja ini sesuai dengan Perintah rasul
Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.
Dan untuk pelaksanaan itu harus ada gaji yang diberikan kepada pekerja
Jika mereka menyusui anak-anak untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. (TQS ath-Thalaq [65]: 6)
Imam al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. yang pernah bersabda :
Allah
SWT telah berfirman: Ada tiga golongan yang aku akan perkarakan pada
Hari Kiamat kelak .... dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang
pekerja, lalu pekerja itu telah menyelesaikan pekerjaannya, namun ia
tidak memberikan upahnya
Akuntabilitas / Accountability
Dalam
konsep islam, Birokrasi merupakan suatu cara (uslub) dan sarana
(wasilah) untuk melaksanakan suatu tugas ia tidak memerlukan dalil
secara khusus dan cukup dengan dalil umum yang menunjukan aktifitas
pokoknya. Contoh : Misalkan dalam surat Al-baqarah : 277 yang
mewajibkan seseorang untuk menunaikan Zakat dalam rangka
mendistribusikan kekayaan dan pemerataan pendapatan. Maka dengan cara
apapun masih diperbolehkan asal tidak menghilangkan kaidah-kaidah
umumnya , misalkan dengan system e-Zakah, pemungutan zakat yang berbasis
pada system elektronik.
Hal inilah
yang juga di contohkan oleh Umar bin al-Khatab r.a pada waktu
membagikan harta kepemilikan umum dan Negara dalam bentuk pemberian
Negara atau gaji lalu Walid bin Hisyam bin al-Mughirah mengusulkan agar
membuat Diwan untuk mengorganisasi atau mencatat kemudian
Umar memanggil Aqil bin Abi Thalib, Mukhrimah bin Naufal, dan Jubair
bin Muth‘im yang ahli dalam masalah Nasab kemudian Umar berkata
“Catatlah orang-orang menurut posisi (urutan) nasab mereka!”. Dalam
implementasi diwan ini, dilakukan berbeda misalnya di Syam yang tetap
menggunakan cara Romawi. Di Irak menggunakan diwan cara Persia.
Dalam
system birokrasi Islam dibentuk dengan nama Struktur administratif ini
terdiri dari departemen-departemen (Mashlahah), jawatan-jawatan
(Dâ’irah), dan unit-unit (Idârah).
System administrasi ini bertanggung jawab terhadap semuanya atas dasar kemashlatan masing-masing seperti dalam Hadist Muslim
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.
Visi Startegis / Strategic Vision
Visi
stretegis yang dikembangkan dalam kehidupan Islam adalah penerapan
nilai-nilai akidah berdasarkan pada apa yang terjadi sebelum dan sesudah
kehidupan dunia, sehingga hal ini menjadi control dari perbuatan
seluruh stakeholder sebuah Negara.
Dengan
kesadaran nilai-nilai akidah yang dibangun maka kehidupan selalu
didasari pada aspek ruhiyah sehingga terbentuk sebuah sistem penjagaan
ilahiyah yang tentu akan mengontrol setiap prilaku baik dari sisi
kehidupan politik, budaya, hokum, ekonomi dan lain sebagainya.
Pembangunan
visi ini (akhirat) akan menciptakan sistem pemerintahan yang baik
secara total karena terdapat dukungan dari semua pihak tentang arti
hidup yang sesungguhnya.
Demikian
solusi yang ditawarkan dalam menciptakan pemerintahan yang baik, namun
dalam tulisan ini masih banyak sekali kekuarangan dan hal-hal yang
mungkin kurang jelas.
Sehingga butuh masukan/saran untuk mengembangkan tulisan ini.
Daftar Referensi:
* Al-Quran
* sutoro eko. mengkaji ulang good governance
* Taqiyuddin an-nabhani. at-takatul al-hizbiy
* ---------------------------, nizham al-islam
* ..........................., Ajizah ad-daulah al-khilafah
* UNDP, Reconceptualising Governance (New York: UNDP, 1997)
* UUD 1945
* UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
internet:
www.worldbank.org
www.undp.or.id
http://mimbarjumat.com/archives/51
Kitab Bukhari dalam www.indoquran.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Good_Governance
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=257847&pop=1&page=0
(Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Ekonomi)
www.pewresearch.org