05 Desember, 2012

Good Student governance

Post oleh : Siger property | Rilis : 20.24 | Series :

1. Latar Belakang
Di Era reformasi hingga saat ini perbincangan good governance selalu menjadi perbincangan menarik baik dari jajaran politisi, akademisi, birokrat maupun kalangan mahasiswa. Dalam dunia kampus, Isu-isu mengenai good governance seolah menjadi isu yang penting dibahas dalam rangkaian studi administrasi Negara konsep-konsep mengenai pemerintahan yang baik pun diajarkan seperti demokratisasi, desentralisasi, deregulasi, debirokratisasi, reinventing government dan lain sebagainya.
Ditingkat birokrasi konsep good governance juga tak kalah penting, berbagai diklat diadakan dalam melakukan apa yang disebut Grindle sebagai Capacity Building, diklat-diklat ini diadakan untuk menunjang pengembangan sumber daya manusia dalam menciptakan pemerintahan yang baik ditingkat birokrasi. Pejabat-pejabat politik juga tidak mau kalah, good governance menjadi senjata utama kampanye untuk mempengaruhi kontituen agar dipilih dalam bursa pemilihan jadi tak ayal kemudian kalau seorang Koffi Anan mantan Sekjen PBB menyatakan bahwa good governance is perhaps the single most important factor in eradicating poverty and promoting development.
Sejalan dengan ini konsep good governance dalam lingkungan pemerintahan dirasa parsial digunakan atau memang konsep good governance yang tidak sesuai dalam lingkungan pemerintahan saat ini. sebut saja di tingkat intitusional banyak bermunculan kebijakan-kebijakan yang mengundang investasi. Pemerintah local maupun nasional tidak segan-segan membuka lebar gerbang investasi bahkan banten menjadikannya sebagai motto “Banten the Gate Investment” yang tentu saja pararel dengan konsep good governance dengan reinventing government-nya, hal ini tentu harus mendapat kritikan mengingat konsep demikian cenderung pro pasar yang akan dikhawatirkan terjadinya pendalaman kapitalisme yang justru akan menjajah masyarakat dengan munculnya sebuah imperialisme gaya baru karena orientasi masyarakat secara langsung dalam good governance tidak terasa. Infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan dan hal lain yang menyentuh masyarakat secara langsung kurang mampu diakomodir dengan baik oleh pemerintahan dengan semangat good governance-nya.
Dari hal diatas yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana memahami kembali good governance dengan melibatkan triangle relation yaitu State, Market dan Civil society dan merubah pandangan Good Governance dari sisi praktis kearah pemberdayaan masyarakat secara langsung, kesejahteraan masyarakat dan moral.
2. Sejarah Good Governance
Good governance di Indonesia mulai popular sejak era reformasi bahkan mengalahkan reformasi politik yang yang pernah popular ditahun 1998, dengan adanya symbol good governance ini seolah-olah Indonesia masuk dalam standar dunia. Perkembangan Good governance di Indonesia tidak terlepas dari sejarahnya yang panjang di Negara-negara dunia.
Dalam konteks masa lalu, governance tidak dikenal. Hal ini karena perubahan pandangan mengenai governance yang semula adalah government. Dalam jurnal yang ditulis oleh sutoro eko yang tentunya juga akan banyak mewarnai tulisan saya, kita bisa melihat beberapa tahapan sejarah singkat dalam perkembangan Good Governance,
  • Tahap I dilalui dengan konsolidasi pemerintahan yang demokratis didunia barat pada abad 20,
  • Tahap ke II adalah pasca perang dunia yang justru peran Negara semakin kuat, basis-basis politik, ekonomi dan control terhadap masyarakat begitu kuatnya, program-program welfare state menjadi semakin luas. Negara menjadi omnipotent. Bahkan bukan sesuatu yang baru Negara menjadi kendaraan tangguh dalam membawa perubahan social
  • Tahap III kekuatan Negara yang tidak diragukan dalam memanajerial masyarakat, membawa barat kepada orientasi yang lain yaitu Negara-negara dunia ketiga, Negara dunia ke III menjadi perhatian perluasan devlopmentalisme atau moderenisme, namun sangat disayangkan karena disisi lain kawasan-kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin justru muncul rezim otoritarian, sehingga konsep modernisasi yang ditawarkan sebagai pendorong birokrasi yang rasional ditolak mentah karena mereka ditopang oleh aliansi birokrasi sipil, militer dan masyarakat bisnis internasional.
  • Tahap IV pada dekade 1980-an menjadi angin segar bagi perkembangan demokratisasi dan modernisme, karena kenyataan pahit diterima oleh Amerika ketika reagen naik dan di inggris Margaret naik harus mengahadpi problem serius yaitu krisis ekonomi dan financial. Kepercayaan masyarakat terhadap Negara akhirnya menjadi sirna karena Negara bukan sebagai solusi tapi akar dari masalah krisis. Akhirnya perkembangan pesat terhadap “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan modernisme yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.
  • Tahap V atau tahap finishing tahun 1990-an proyek demokratisasi yang sudah diperjuangkan masa lalu berkembang luas ke santero negeri yang ditandai dengan cara pandang baru terhadap pemerintahan yakni ditandai munculnya governance dan GOOD GOVERNANCE
Namun belum selesai sampai disini, konsep governance dan GOOD GOVERNANCE dari IMF dan World Bank awalnya hanya dimaknai sebagai kinerja pemerintahan yang efektif mengingat pengalaman masa lalu bagi pemerintahan yang buruk yang tentunya juga punya sejarah panjang saat Asia dan Afrika merdeka sekitar 1960-an lembaga donor ini (world bank) banyak memberikan bantuan untuk membangun asistensi badan pemerintahan dan pelatihan pejabat public yang diberi nama institution building. Baru pada tahun 1990-an konsep ini mengalami revitalisasi menjadi institutional capacity building dibawah rubric Governance for development. Gagasan governance yang di promosikan oleh badan internasional ini dalam rangka mendorong reformasi ekonomi dan demokratisasi politik yang diarahkan pada pemerintahan yang baik.
Seiring dengan perjalanan waktu, konsep Good Governance diarahkan pada proses multi arah yang sebelumnya setelah tahun 1990-an pun masih pada konsep yang lama hanya terpaku pada pemerintah, namun saat ini konsep tersebut bersifat multiarah artinya tidak sebatas pada pemerintah namun juga diluar dari pemerintah itu sendiri (masyarakat dan swasta).
Jadi kesimpulannya governance tidak sekedar pemerintah atau pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan namun lebih dari itu bagaimana kekuasaan dan kewenangan ini harus bersinerngi dan berinteraksi dengan actor diluar dari pemerintahan. Artinya bagaimana pemerintah mampu menjadi fasilitator demi kepentingan actor-aktor tersebut dengan membuat kebijakan dan lain sebagainya.


3. Nilai-nilai Bebas Good Governance
Karena Good Governance merupakan sebuah nilai yang bebas maka wajar banyak individu dan lembaga memaknainya secara beragam tentang konsep Good Governance. Bank Dunia memberi batasan Good Governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bershabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan
terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.
Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Secara tegas, UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance:
1) partisipatif;
2) transparan dan bertanggungjawab;
3) efektif dan berkadilan;
4) mempromosikan supremasi hukum;
5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat; dan
6) memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam proses pembuatan keputusan.
Dari pemaparan diatas sesungguhnya Good Governance adalah sebuah nilai yang memang sudah berkembang sebelumnya, konsep partisipatif, transparent, bertanggung jawab, efektif efisien, supermasi hokum adalah sebuah konsekuensi logis sebuah Negara. Nilai-nilai seperti ini bersifat bebas, bebas dalam artian mempunyai definisi dan pengertian yang berbeda tergantung pada dasar pemikiran yang dianut oleh sebuah Negara.
Satu contoh, konsep keadilan masa lalu bagi orang-orang sosialis komunis adalah apabila semua memliki hak sama tanpa terkecuali namun bagi orang-orang liberal keadilan adalah tergantung bagaimana individu, sehingga bersifat relative. Sehingga sutoro eko memaknai Good Governance tidak lebih sebagai sebuah manifesto politik baru yang identik dengan libertarian governance yang secara filosofis dan sosiologis ada sebuah garis yang konsisten, bahwa Good Governance maupun libertarian governance lebih berbasis pada individu ketimbang komunitas; lebih menekankan kompetisi bebas yang dibingkai rule of law ketimbang kehendak bersama; lebih cocok dengan kepemilikan pribadi ketimbang kolektif; dan lebih mengutamakan prinsip one people one vote ketimbang musyawarah.
Hal ini jelas membawa dampak buruk, muatan-muatan ideologis yang terkandung dalam Good Governance ini menjadi alat jajahan baru bagi Negara-negara dunia I terhadap Negara dunia ke-III yang tidak lain adalah memanfaatkan bahan baku yang secara rata-rata dimiliki oleh Negara-negara dunia ke-III, Indonesia dalam hal ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa, potensi tambang yang dimiliki Indonesia menempatkan Indonesia kedalam peringkat 6 dunia dan potensi SDA lainnya namun dalam pengelolaannya justru swasta menjadi domianan dalam hal ini, padahal UUD 1945 Pasal 33 menyatakan dengan tegas “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini Negara bukan berarti tidak mengamalkan UUD tersebut namun pengaruh ideology yang dianutnya membawa pada pemahaman yang berbeda tentang konsep “pengelolaan” . bentuk penguasaan ini adalah dengan cara privatisasi sebagai bentuk perwujudan good governance karena Good Governance hendak membawa pada konsep denegaranisasi dengan semangat demokrasi dengan mengusung relasi antara Negara dan pasar.
Secara ide Good Governance dinilai lebih menarik disbanding teori modernisasi yang dahulu banyak dikecam oleh Negara-negara, dari sisi ini Good Governance belajar dari kegagalan teori tersebut kalau modernisasi yang menjadi objek adalah Mayarakat dan pasar yang dikendalikan Negara, sekarang Good Governance lebih mengorientasikan Negara sebagai “terdakwa” sehingga dipaksa untuk membagikan Sumber Daya kepada masyarakat, namun mayarakat dalam hal ini justru di dominasi para swasta (capital).


4. Transformasi Good Governance (Islamic Governance)
Seperti dijelaskan sebelumnya, Good Governance tidak lain merupakan sebuah manifestasi politik moderenisme baru yang bersumber pada ideology liberalism, kekuatan ideology yang dibangun dalam Good Governance membawa pengaruh nilai-nilai Good Governance dalam proses aplikasinya. Watak ideology liberalism yang cenderung pada kebebasan individu dan ekonomi kapitalisnya justru akan membuka akses pasar yang tidak terkendali, hal ini akan membawa dampak buruk mengingat akses masyarakat terutama golongan miskin akan lemah karena mereka tidak mempunyai kemampuan partisipasi dalam proses politik dan ketidakmampuan kompetisi dalam sector ekonomi.
Sejarah telah membuktikan bahwa kapitalisasi yang besar-besaran telah menghancurkan tanah ulayat, membuat involusi pertanian, meminggirkan masyarakat dan memperbesar kemiskinan struktural.
Indonesia cukup menjadi contoh dalam hal ini apalagi ketika dibukanya kerjasama AFTA (Asian Free Trade Area) yang banyak mematikan pasar-pasar local karena ketidakmampunannya dalam berkompetisi, padahal sector inilah yang memperkuat pasar dalam negeri.
Untuk itu dibutuhkan solusi yang menghentikan proses ini, sosialisme-komunis sudah mejadi sejarah, ketika hancurnya uni soviet, liberal-kapitalis saat ini tidak berorientasi pada masyarakat. Islam menjadi jalan satu-satunya terhadap solusi Indonesia yang sejahtera dengan sistem pemerintahan yang baik, hal ini mengingat secara demografis Indonesia memiliki 202,83 juta penduduk dengan 88,2% penduduknya adalah muslim serta menyumbang muslim dunia 12,9% (pew research center. 2009), kalau jumlah ini mengaku muslim tentunya masyarakat yakin betul akan Allah sebagai pengatur manusia dan Rasulnya sebagai penyampai, artinya ia meyakininya bahwa hanya Allah yang mampu memberikan jaminan akan manusia, untuk itulah nilai-nilai yang dijalankan dalam pemerintahan yang baik harus bersumber pada nilai-nilai akidah yang menjadi konsekuensi kita dalam beragama dan menjalankan aturan-aturannya, konsep diatas sperti keadilan, transparansi dan hal-hal lainnya harus di dasarkan pada konteks islam sebagai sebuah mabda (ideology) yang akan menjadi dasar setiap perbuatan dan sistem. Berikut ulasannya

Adil / Equity
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.. (An-Nahl :90)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil… (Al-Maidah : 8)
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil (Al-Maidah :48)
Adil dalam konsep Islam berbeda dengan adil dalam konsep GG, Dalam konsep Islam keadilan berdasarkan Keimanan seorang bukan pada peraturan semata, dan keimanan bisa di wujudkan manakala semua orang yakin dan paham tentang konsekuensi beragama.\

Partisipasi Masyarakat / Participation
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah (Al-Imran :109)

urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka (Assyura : 38)

Seandainya kalian berdua telah telah bersepakat dalam suatu Masyurah maka aku tidak akan menyalahi kalian berdua

Imam ahmad riwayat dari Abu Said al-Khudzri yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Pernah Bersabda :
Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran dihadapan pengusa yang dzalim.

Ini menegaskan bahwa islam benar-benar mewajibkan bentuk partisipasi, bahkan ditegaskan mengatakan kebenaran kepada penguasa merupakan salah satu jihad, namun partisipasi dalam masyarakat ini tidak semata-mata atas dasar hawa nafsu manusia belaka, namun cenderung pada koridor yang ditetapkan dalam al-quran dan hadist.

Tegaknya Supermasi Hukum / Rule of Law
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (5 :49)

Jika dua orang yang sedang bersengketa duduk di hadapanmu (meminta keputusan hukum) maka janganlah engkau berbicara (memutuskan perkaranya) hingga engkau men-dengarkan dari pihak lain sebagaimana engkau telah men-dengarkan dari pihak pertama. (HR Ahmad).

Hokum benar-benar dijunjung dalam Islam, karena keadilan menjadi sumber utama dalam Islam, namun supermasi hokum ini dilakukan apabila hokum yang dijalankan benar-benar bersumber pada Al-Quran dan hadist.

  1. Transparansi / Transparency
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) [An-nisa : 83].

Transparansi dijunjung untuk memberikan agar masyarakat dapat melakukan control terhadap pemerintah.

Efektifitas dan Efisiensi / Effectiveness and Efficiency
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (at-taubah : 105) .
Kata amal, menurut Raghib al-Isfahani adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau niat. Dalam al-Quran, kata ini bersifat netral artinya dipakai untuk perbuatan baik dan perbuatan yang bersifat jelek, Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaikmungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin.

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal.. (HR Muslim dari Syadad bin Aus)
Ihsân (kebaikan, kesempurnaan) dalam melaksanakan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syariah. Untuk merealisasikan kebaikan/kesempurnaan dalam melaksanakan pekerjaan, harus terpenuhi tiga hal berikut dalam manajemennya:
  1. Kesederhanaan aturan; karena kesederhanaan aturan itu akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, sementara aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan.
  2. Kecepatan dalam pelayanan transaksi; karena hal itu akan mempermudah orang yang memiliki keperluan.
  3. Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan professional
Profesionalitas kerja ini sesuai dengan Perintah rasul
Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.

Dan untuk pelaksanaan itu harus ada gaji yang diberikan kepada pekerja
Jika mereka menyusui anak-anak untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. (TQS ath-Thalaq [65]: 6)
Imam al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. yang pernah bersabda :
Allah SWT telah berfirman: Ada tiga golongan yang aku akan perkarakan pada Hari Kiamat kelak .... dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu telah menyelesaikan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya

Akuntabilitas / Accountability
Dalam konsep islam, Birokrasi merupakan suatu cara (uslub) dan sarana (wasilah) untuk melaksanakan suatu tugas ia tidak memerlukan dalil secara khusus dan cukup dengan dalil umum yang menunjukan aktifitas pokoknya. Contoh : Misalkan dalam surat Al-baqarah : 277 yang mewajibkan seseorang untuk menunaikan Zakat dalam rangka mendistribusikan kekayaan dan pemerataan pendapatan. Maka dengan cara apapun masih diperbolehkan asal tidak menghilangkan kaidah-kaidah umumnya , misalkan dengan system e-Zakah, pemungutan zakat yang berbasis pada system elektronik.
Hal inilah yang juga di contohkan oleh Umar bin al-Khatab r.a pada waktu membagikan harta kepemilikan umum dan Negara dalam bentuk pemberian Negara atau gaji lalu Walid bin Hisyam bin al-Mughirah mengusulkan agar membuat Diwan untuk mengorganisasi atau mencatat kemudian Umar memanggil Aqil bin Abi Thalib, Mukhrimah bin Naufal, dan Jubair bin Muth‘im yang ahli dalam masalah Nasab kemudian Umar berkata “Catatlah orang-orang menurut posisi (urutan) nasab mereka!”. Dalam implementasi diwan ini, dilakukan berbeda misalnya di Syam yang tetap menggunakan cara Romawi. Di Irak menggunakan diwan cara Persia.
Dalam system birokrasi Islam dibentuk dengan nama Struktur administratif ini terdiri dari departemen-departemen (Mashlahah), jawatan-jawatan (Dâ’irah), dan unit-unit (Idârah).
System administrasi ini bertanggung jawab terhadap semuanya atas dasar kemashlatan masing-masing seperti dalam Hadist Muslim
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.

Visi Startegis / Strategic Vision
Visi stretegis yang dikembangkan dalam kehidupan Islam adalah penerapan nilai-nilai akidah berdasarkan pada apa yang terjadi sebelum dan sesudah kehidupan dunia, sehingga hal ini menjadi control dari perbuatan seluruh stakeholder sebuah Negara.
Dengan kesadaran nilai-nilai akidah yang dibangun maka kehidupan selalu didasari pada aspek ruhiyah sehingga terbentuk sebuah sistem penjagaan ilahiyah yang tentu akan mengontrol setiap prilaku baik dari sisi kehidupan politik, budaya, hokum, ekonomi dan lain sebagainya.
Pembangunan visi ini (akhirat) akan menciptakan sistem pemerintahan yang baik secara total karena terdapat dukungan dari semua pihak tentang arti hidup yang sesungguhnya.

Demikian solusi yang ditawarkan dalam menciptakan pemerintahan yang baik, namun dalam tulisan ini masih banyak sekali kekuarangan dan hal-hal yang mungkin kurang jelas.
Sehingga butuh masukan/saran untuk mengembangkan tulisan ini.


Daftar Referensi:
* Al-Quran
* sutoro eko. mengkaji ulang good governance
* Taqiyuddin an-nabhani. at-takatul al-hizbiy
* ---------------------------, nizham al-islam
* ..........................., Ajizah ad-daulah al-khilafah
* UNDP, Reconceptualising Governance (New York: UNDP, 1997)
* UUD 1945
* UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


internet:
www.worldbank.org
www.undp.or.id
http://mimbarjumat.com/archives/51
Kitab Bukhari dalam www.indoquran.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Good_Governance
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=257847&pop=1&page=0 (Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Ekonomi)
www.pewresearch.org

google+

linkedin