A. Pengertian Pendekatan
Pembelajaran
Menurut Akhmad Sudrajat dalam (sumber
3) pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi,
menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. (Gambar
1 Posisi Hierarkis Model Pembelajaran).
Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student
centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada guru (teacher centered
approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang
telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, serta teknik dan taktik dalam pembelajaran. Newman dan Logan
(Abin Syamsuddin Makmun dalam Akhmad Sudrajat, 2003) mengemukakan empat unsur
strategi dari setiap usaha, yaitu: (1) mengidentifikasi dan menetapkan
spesifikasi dan kualifikasi hasil (output)
dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan
selera masyarakat yang memerlukannya; (2) Mempertimbangkan dan memilih jalan
pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran; (3)
Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak
titik awal sampai dengan sasaran;(4) Mempertimbangkan dan
menetapkan tolak ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk
mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Hubungan antara pendekatan, strategi, metode,
serta teknik dan taktik dalam pembelajaran dapat divisualisasikan seperti pada
Gambar 2.1.
Gambar 1 Posisi Hierarkis Model Pembelajaran
Perbedaan
antara model, pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik pembelajaran
Perbedaan model, pendekatan, strategi,
metode, teknik, taktik pembelajaran dapat dilihat dari tebel 2 di bawah:
Tabel 2 Perbedaan model, pendekatan, strategi,
metode, teknik, taktik pembelajaran
Model Pembelajaran
Pendekatan Pembelajaran
Strategi Pembelajaran
Metode pembelajaran
|
Bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus
atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang
merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari
metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
Suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar
tujuan pembelajaran dapat dicapai
secara efektif dan efisien.
Cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun
dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi
pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4)
simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8)
debat, (9) simposium, dan sebagainya.
|
B. Tipe-tipe Pendekatan Pembelajaran
1.
Pengertian
dan hakekat pembelajaran kontekstual
Menurut Suprijono (2009:79) “Pembelajaran kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong
peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pebelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu
peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial
dan budaya masyarakat”.
“Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learing) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan dengan penerapannya dengan kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yakni
konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning),
menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learing Community),
pemodelan (Modeling), reflesksi (Reflection) dan penilaian
sebenarnya (Authentic Assesment)” (Riyanto, 2009:170).
Pembelajaran kontekstual memusatkan pada bagaimana peserta didik mengerti makna
dari apa yang mereka pelajari, apa manfaatnya, dalam status apa mereka,
bagaimana mencapainya dan bagaimana mereka mendemonstrasikan apa yang telah
mereka pelajari. Serta pembelajaran kontekstual juga merupakan pembelajaran
autentik dan aktif, di mana pembelajaran autentik dimaksudkan sebagai pembelajaran
yang mengutamakan pengalaman nyata, pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat
dengan kehidupan nyata, sedangkan aktif dimaksudkan pembelajaran ini berpusat
pada keaktifan siswa. Belajar merupakan aktivitas penerapan pengetahuan, bukan
menghafal, siswa “acting”, guru mengarahkannya (Suprijono, 2009:82).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
kontekstual yang berperan aktif adalah siswa, dimana siswa dituntut harus
menemukan sendiri pengetahuannya, mentransformasikan informasi yang kompleks,
mengecek informasi yang baru dengan aturan-aturan yang lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Siswa belajar untuk bekerja
melalui tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan tugas itu masih berada pada
jangkauan kemampuannya. Siswa belajar dengan mengaitkan materi pelajaran dengan
situasi dan kondisi dalam kehidupan sehari-hari dan siswa juga belajar melalui
kerjasama kelompok (diskusi kelompok). Dengan kerjasama kelompok (diskusi)
tersebut siswa diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
pembelajaran.
2.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and
Learning (CTL)) mempunyai komponen sebagai berikut (Riyanto, 2009:171)
a.
Konstruktivisme
(Constructivism), merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak secara
tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksikan
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengetahuan nyata. Siswa harus
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak mempu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa namun siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di
benak mereka sendiri.
b.
Menemukan
(Inquiry), merupakan inti dari CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa dapat diterapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi dari hasil menemukan sendiri. Guru merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.
c.
Bertanya
(Questioning), merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis CTL
yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
d.
Masyarakat
belajar (Learing Community). Konsep ini menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang
belum tahu. Di ruang ini , di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang
ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar. Dalam kelas CTL,
guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang
anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu
yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang
mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa
sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan
siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan
seorang ahli ke kelas. Masyarakat
belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat
belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar. Seorang yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi
yang diperlukan oleh teman bicara sekaligus juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman belajarnya.
e.
Pemodelan
(Modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru, guru memberi model tentang
“bagaimana cara belajar”. Dalam Fisika guru menunjukkan contoh seperti orang
yang mendorong meja sebagai model yang bisa ditiru dan diamati siswa. Dalam
pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan
melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh kepada
temannya cara menyelesaikan soal. Siswa “contoh” tersebut dikatakan sebagai
model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai “standar” kompetensi
yang harus dicapai.
f.
Reflesksi
(Reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu.
Siswa mendapatkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang
baru, yang merupakan pengajaran atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas, atau pengetahuan yang
diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki
diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi
sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa
memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru
dipelajarinya.
g.
Penilaian
sebenarnya (Authentic Assesment), adalah proses pengumpulan berbagai
data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
perkembangan siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
sudah mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan
guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar maka
guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan
belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang
proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukan di akhir periode (semester)
pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti UAN), tetapi
dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan
pembelajaran. Pada penilaian (assesment) menekankan proses pembelajaran,
maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan
siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari
proses, bukan melalui hasil. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan
keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya
guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain.
1.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual sudah lama dikembangkan
oleh John Dewey pada tahun 1916,yaitu sebagai filosofi belajar yang menekankan
pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning) dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual
Teaching and Learning, yang bergerak
dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih
dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk
belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat melalui Direktorat PLP
Depdiknas.
Pendekatan kontekstual lahir karena
kesadaran bahwa kelas-kelas di Indonesia tidak produktif. Sehari-hari
kelas-kelas di sekolah diisi dengan “pemaksaan” terhadap siswa untuk belajar
dengan cara menerima dan menghapal. Harus segera ada pilihan strategi
pembelajaran yang lebih berpihak dan memberdayakan siswa.
Adapun yang melandasi pengembangan
pendekatan kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka
sendiri. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta atau
proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey
pada awal abad 20 yang lalu.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk
kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Sebab, pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka
pendek, tetapi gagal dalam membekali
anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Inilah yang terjadi
pada kelas-kelas di sekolah Indonesia dewasa ini. Hal ini terjadi karena masih
tertanam pemikiran bahwa pengetahuan dipandang sebagai perangkat fakta-fakta
yang harus dihapal, kelas berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,
akibatnya ceramah merupakan pilihan utama strategi mengajar. Karena itu,
diperlukan : (1) sebuah pendekatan belajar
yang lebih memberdayakan siswa; (2)
kesadaran bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang siap
diterima, melainkan sesuatu yang harus dikonstruksi sendiri oleh siswa; (3) kesadaran pada diri siswa tentang pengertian
makna belajar bagi mereka, apa manfaatnya, bagaimana mencapainya, dan apa yang
mereka pelajari adalah berguna bagi hidupnya.; (4) posisi guru yang lebih berperan pada urusan
strategi bagaimana belajar daripada pemberi informasi.
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US
Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa
makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai
hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri
yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan
berusaha untuk menggapinya (sumber 3)
Pendekatan konstektual merupakan
pendekatan yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkanya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan kontekstual sendiri dilakukan
dengan melibatkan komponen-komponen pembelajaran yang efektif yaitu
konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi,
penilaian sebenarnya.
Dalam pengajaran kontekstual
memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu :
1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan
inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep
baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan
apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
2.
Mengalami merupakan inti belajar kontekstual
dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun
pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi
peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3.
Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic
dan relevan.
4.
Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang
signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat
mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama
tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar tetapi konsisten dengan dunia
nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman
belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan
Model
MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI
1. Model Pembelajaran Inkuiri BiasaInkuiri adalah proses
pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir
secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat,
akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses
perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus di hafal,
akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan
sendiri materi yang harus di pahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses
mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis.
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah :
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah :
1. Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa
berdiskusi.
2. Inkuiri berfokus pada hipotesis.
3. Penggunaaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta)
Untuk menciptakan kondisi seperti itu, peranan guru adalah :
1. Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir.
2. Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan.
3. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang siswa buat.
4. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.
5. Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
6. Manajer, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas.
7. Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa
Gulo (dalam Trianto; 137) menyatakan bahwa :
“Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan”.
Kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut :
1. Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir.
2. Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan.
3. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang siswa buat.
4. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.
5. Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
6. Manajer, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas.
7. Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa
Gulo (dalam Trianto; 137) menyatakan bahwa :
“Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan”.
Kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan pertanyaan atau permasalahan Kegiatan inkuiri dimulai
ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. untuk meyakinkan bahwa pertanyaan
sudah jelas, pertanyaan tersebut dituliskan di papan tulis, kemudian siswa
diminta untuk merumuskan hipotesis.
2. Merumuskan hipotesisHipotesis adalah jawaban sementara atas
pertanyaan atau solusi permasalahannya yang dapat diuji dengan data. Untuk
memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis
yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang
relevan dengan permasalahan yang diberikan
3. Mengumpulkan data EksperimenHipotesis digunakan untuk menuntun
proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik, atau
grafik.
4. Analisis dataSiswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran ‘benar’ atau ‘salah’. Setelah memperoleh kesimpulan, dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya.
5. Membuat kesimpulanLangkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.
4. Analisis dataSiswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran ‘benar’ atau ‘salah’. Setelah memperoleh kesimpulan, dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya.
5. Membuat kesimpulanLangkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.
3. Model Pembelajaran Inquiry Training Model pembelajaran
inquiry training dikembangkan oleh seorang tokoh yang bernama Suchman (1962).
Suchman meyakini bahwa anak-anak merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu
akan segala sesuatu. Model pembelajaran inquiry training dirancang untuk
membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan-latihan
yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang
singkat. Pengaruhnya adalah bahwa model pembelajaran inquiry training (latihan
penelitian) akan meningkatkan pemahaman ilmu pengetahuan, produktivitas dalam
berpikir kreatif, dan keterampilan-keterampilan dalam memperoleh dan
menganalisis informasi, tetapi latihan ini seefisien metode pengulangan dan
pengajaran yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman laboratorium.
Model
pembelajaran inquiry training adalah upaya pengembangan para pembelajar yang
mandiri, metodenya mensyaratkan partisipasi aktif siswa dalam penelitian
ilmiah. Siswa sebenarnya memiliki rasa ingin tahu dan hasrat yang besar untuk
tumbuh berkembang. Model pembelajaran inquiry training memanfaatkan eksplorasi
kegairahan alami siswa, memberikan siswa arahan-arahan khusus sehingga siswa
dapat mengeksplorasi bidang-bidang baru secara efektif.
Tujuan umum model pembelajaran inquiry training adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan untuk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan siswa. Untuk itulah, Suchman tertarik untuk membantu siswa meneliti secara mandiri, tetapi dalam cara yang disiplin. Suchman ingin siswa-siswanya bertanya mengapa sesuatu peristiwa tertentu harus terjadi seperti itu, ada apa sebenarnya, bagaimana saya bisa menyelidikinya. Suchman juga ingin siswanya memperoleh dan memproses data secara logis dengan mengembangkan strategi-strategi intelektual umum yang dapat siswa gunakan untuk mencari tahu terjadinya fenomena atau peristiwa tertentu.
Tujuan umum model pembelajaran inquiry training adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan untuk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan siswa. Untuk itulah, Suchman tertarik untuk membantu siswa meneliti secara mandiri, tetapi dalam cara yang disiplin. Suchman ingin siswa-siswanya bertanya mengapa sesuatu peristiwa tertentu harus terjadi seperti itu, ada apa sebenarnya, bagaimana saya bisa menyelidikinya. Suchman juga ingin siswanya memperoleh dan memproses data secara logis dengan mengembangkan strategi-strategi intelektual umum yang dapat siswa gunakan untuk mencari tahu terjadinya fenomena atau peristiwa tertentu.
Model
pembelajaran inquiry training dimulai dengan menyajikan kejadian yang sedikit
membingungkan (puzzling event) pada siswa. Model pembelajaran inquiry training
penting untuk membawa siswa pada sikap dan prinsip bahwa semua pengetahuan
bersifat tentative (tidak pasti). Dengan demikian teori Suchman adalah :
1. Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang menghadapi persoalan.
2. Siswa dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya.
3. Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat
ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
4. Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang, dan menghargai penjelasan alternatif.
1. Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang menghadapi persoalan.
2. Siswa dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya.
3. Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat
ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
4. Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang, dan menghargai penjelasan alternatif.
Tahap
penelitian memiliki lima tahap. Tahap pertama, Suchman dengan cermat
menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi sehingga siswa mulai berhasrat untuk
menyelidikinya lebih dalam. Tahap kedua, setelah guru menyajikan situasi yang
membingungkan, siswa diminta atau bahkan secara otomatis akan mengajukan
pertanyaan. Setiap pertanyaan, bagaimanapun harus dijawab dengan kaya “ya” dan
“tidak”. Siswa mungkin tidak akan meminta guru untuk menjelaskan fenomena
tersebut pada mereka terdahulu. Kemudian siswa meminta guru untuk mengecek kebenaran
hipotesis yang telah dikembangkan.
Siswa
terus mengajukan pertanyaan. Kapan pun siswa mengucapkan pertanyaan yang tidak
dapat di jawab dengan ya dan tidak, guru harus mengingatkan siswa tentang
pola-pola pertanyaan yang diperbolehkan atau meminta siswa mengutarakan
pertanyaan tersebut dari sudut pandang lain yang lebih sesuai.
Tahap
ketiga, setelah fakta dikumpulkan, siswa mulai diminta untuk mencoba
mengembangkan hipotesis-hipotesis yang seluruhnya dapat menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi melalui eksperimen. Pada tahap kempat, siswa mengolah
informasi yang mereka dapatkan selama pengumpulan merumuskan hipotesis. Pada
tahap kelima, siswa menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang telah
mereka gunakan selama penelitian.
Perbedaan
utama antara model pembelajaran inquiry training dengan model pembelajaran
inkuiri umum adalah terletak pada proses merumuskan hipotesis. Model
pembelajaran inquiry training mengembangkan suatu metode penemuan baru yang
menuntun siswa merumuskan hipotesis melalui bertanya. Sedangkan model
pembelajaran inkuiri umum merumuskan hipotesis setelah mengumpulkan
masalah-masalah yang siswa hadapi (mengajukan pertanyaan) barulah kemudian
siswa diminta untuk membuat jawaban sementaranya (merumuskan hipotesis).
Model
pembelajaran inquiry training memiliki lima tahap pembelajaran, yaitu sebagai
berikut :
Fase I :
Menghadapkan pada masalah
• Menghadapkan siswa
dengan situasi yang membingungkan (masalah).
Fase II : Merumuskan hipotesis
Fase II : Merumuskan hipotesis
• Mengajukan
pertanyaan dimana pertanyaan tersebut sudah
mengandung jawaban.
mengandung jawaban.
Fase III :
Pengumpulan data-eksperimentasi
• Memisahkan
variabel yang relevan.
• Menghipotesiskan
(serta menguji) hubungan kausal.
Fase IV : Mengolah,
memformulasikan suatu penjelasan
• Memformulasikan
aturan dan penjelasan.
Fase V : Analisis
proses penelitian
• Menganalisis strategi
penelitian dan mengembangkan yang paling efektif.