16 Juni, 2012

MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN FISIKA (TUGAS DDEP)

Post oleh : Siger property | Rilis : 09.25 | Series :

A.  Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Menurut Akhmad Sudrajat dalam (sumber 3) pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode  pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.  (Gambar  1 Posisi Hierarkis Model Pembelajaran).
Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). 
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran, metode pembelajaran, serta teknik dan taktik dalam pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun dalam Akhmad Sudrajat, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi  dan kualifikasi hasil (output) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya; (2) Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran; (3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran;(4) Mempertimbangkan dan
menetapkan tolak ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha. 
Hubungan antara pendekatan, strategi, metode, serta teknik dan taktik dalam pembelajaran dapat divisualisasikan seperti pada Gambar 2.1. 


Gambar 1 Posisi Hierarkis Model Pembelajaran

Perbedaan antara model, pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik pembelajaran
Perbedaan model, pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik pembelajaran dapat dilihat dari tebel 2 di bawah:
Tabel 2 Perbedaan model, pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik  pembelajaran

Model Pembelajaran



Pendekatan Pembelajaran




Strategi Pembelajaran


Metode pembelajaran
Bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.

Titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

Suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai  secara efektif dan efisien.

Cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan  untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.

B.  Tipe-tipe Pendekatan Pembelajaran
1.      Pengertian dan hakekat pembelajaran kontekstual
         Menurut Suprijono (2009:79) “Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pebelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat”.
            “Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learing) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dengan kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh  komponen utama pembelajaran efektif yakni  konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learing Community), pemodelan (Modeling), reflesksi (Reflection) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment)” (Riyanto, 2009:170).
            Pembelajaran kontekstual memusatkan pada bagaimana peserta didik mengerti makna dari apa yang mereka pelajari, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, bagaimana mencapainya dan bagaimana mereka mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari. Serta pembelajaran kontekstual juga merupakan pembelajaran autentik dan aktif, di mana pembelajaran autentik dimaksudkan sebagai pembelajaran yang mengutamakan pengalaman nyata, pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata, sedangkan aktif dimaksudkan pembelajaran ini berpusat pada keaktifan siswa. Belajar merupakan aktivitas penerapan pengetahuan, bukan menghafal, siswa “acting”, guru mengarahkannya (Suprijono, 2009:82). 
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual yang berperan aktif adalah siswa, dimana siswa dituntut harus menemukan sendiri pengetahuannya, mentransformasikan informasi yang kompleks, mengecek informasi yang baru dengan aturan-aturan yang lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Siswa belajar  untuk bekerja melalui tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan tugas itu masih berada pada jangkauan kemampuannya. Siswa belajar dengan mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan sehari-hari dan siswa juga belajar melalui kerjasama kelompok (diskusi kelompok). Dengan kerjasama kelompok (diskusi) tersebut siswa diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran.
2.      Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning  (CTL)) mempunyai komponen sebagai berikut (Riyanto, 2009:171)
a.           Konstruktivisme (Constructivism), merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksikan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengetahuan nyata. Siswa harus dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak mempu memberikan semua pengetahuan kepada siswa namun siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.          Menemukan (Inquiry), merupakan inti dari CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dapat diterapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Guru merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.
c.           Bertanya (Questioning), merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis CTL yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
d.          Masyarakat belajar (Learing Community). Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini , di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seorang yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicara sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
e.           Pemodelan (Modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru, guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam Fisika guru menunjukkan contoh seperti orang yang mendorong meja sebagai model yang bisa ditiru dan diamati siswa. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh kepada temannya cara menyelesaikan soal. Siswa “contoh” tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai “standar” kompetensi yang harus dicapai.
f.           Reflesksi (Reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mendapatkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengajaran atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas, atau pengetahuan yang diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
g.          Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment), adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa sudah mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti UAN), tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Pada penilaian (assesment) menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain.

1.  Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual sudah lama dikembangkan oleh John Dewey pada tahun 1916,yaitu sebagai filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning, yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat melalui Direktorat PLP Depdiknas.
Pendekatan kontekstual lahir karena kesadaran bahwa kelas-kelas di Indonesia tidak produktif. Sehari-hari kelas-kelas di sekolah diisi dengan “pemaksaan” terhadap siswa untuk belajar dengan cara menerima dan menghapal. Harus segera ada pilihan strategi pembelajaran yang lebih berpihak dan memberdayakan siswa.
Adapun yang melandasi pengembangan pendekatan kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak  mereka sendiri. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad 20 yang lalu.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Sebab, pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Inilah yang terjadi pada kelas-kelas di sekolah Indonesia dewasa ini. Hal ini terjadi karena masih tertanam pemikiran bahwa pengetahuan dipandang sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal, kelas berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, akibatnya ceramah merupakan pilihan utama strategi mengajar. Karena itu, diperlukan : (1)  sebuah pendekatan belajar yang lebih memberdayakan siswa; (2)  kesadaran bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima, melainkan sesuatu yang harus dikonstruksi sendiri oleh siswa; (3)  kesadaran pada diri siswa tentang pengertian makna belajar bagi mereka, apa manfaatnya, bagaimana mencapainya, dan apa yang mereka pelajari adalah berguna bagi hidupnya.; (4)  posisi guru yang lebih berperan pada urusan strategi bagaimana belajar daripada pemberi informasi.
Pendekatan Kontekstual atau  Contextual Teaching and Learning  (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapinya (sumber 3)
Pendekatan konstektual merupakan pendekatan yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan kontekstual sendiri dilakukan dengan melibatkan komponen-komponen pembelajaran yang efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu :
1.      Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
2.        Mengalami  merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3.        Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
4.        Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5.      Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan

Model

MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI
1. Model Pembelajaran Inkuiri BiasaInkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus di hafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus di pahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis.
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah :
1. Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi.
2. Inkuiri berfokus pada hipotesis.
3. Penggunaaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta)
Untuk menciptakan kondisi seperti itu, peranan guru adalah :
1. Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir.
2. Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan.
3. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang siswa buat.
4. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.
5. Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
6. Manajer, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas.
7. Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa
Gulo (dalam Trianto; 137) menyatakan bahwa :
“Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan”.

Kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan pertanyaan atau permasalahan Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas, pertanyaan tersebut dituliskan di papan tulis, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis.
2. Merumuskan hipotesisHipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan atau solusi permasalahannya yang dapat diuji dengan data. Untuk memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang diberikan
3. Mengumpulkan data EksperimenHipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik, atau grafik.
4. Analisis dataSiswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran ‘benar’ atau ‘salah’. Setelah memperoleh kesimpulan, dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya.
5. Membuat kesimpulanLangkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.

3.      Model Pembelajaran Inquiry Training Model pembelajaran inquiry training dikembangkan oleh seorang tokoh yang bernama Suchman (1962). Suchman meyakini bahwa anak-anak merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu. Model pembelajaran inquiry training dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat. Pengaruhnya adalah bahwa model pembelajaran inquiry training (latihan penelitian) akan meningkatkan pemahaman ilmu pengetahuan, produktivitas dalam berpikir kreatif, dan keterampilan-keterampilan dalam memperoleh dan menganalisis informasi, tetapi latihan ini seefisien metode pengulangan dan pengajaran yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman laboratorium.
Model pembelajaran inquiry training adalah upaya pengembangan para pembelajar yang mandiri, metodenya mensyaratkan partisipasi aktif siswa dalam penelitian ilmiah. Siswa sebenarnya memiliki rasa ingin tahu dan hasrat yang besar untuk tumbuh berkembang. Model pembelajaran inquiry training memanfaatkan eksplorasi kegairahan alami siswa, memberikan siswa arahan-arahan khusus sehingga siswa dapat mengeksplorasi bidang-bidang baru secara efektif.
Tujuan umum model pembelajaran inquiry training adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan untuk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan siswa. Untuk itulah, Suchman tertarik untuk membantu siswa meneliti secara mandiri, tetapi dalam cara yang disiplin. Suchman ingin siswa-siswanya bertanya mengapa sesuatu peristiwa tertentu harus terjadi seperti itu, ada apa sebenarnya, bagaimana saya bisa menyelidikinya. Suchman juga ingin siswanya memperoleh dan memproses data secara logis dengan mengembangkan strategi-strategi intelektual umum yang dapat siswa gunakan untuk mencari tahu terjadinya fenomena atau peristiwa tertentu.
Model pembelajaran inquiry training dimulai dengan menyajikan kejadian yang sedikit membingungkan (puzzling event) pada siswa. Model pembelajaran inquiry training penting untuk membawa siswa pada sikap dan prinsip bahwa semua pengetahuan bersifat tentative (tidak pasti). Dengan demikian teori Suchman adalah :
1. Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang menghadapi persoalan.
2. Siswa dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya.
3. Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat
ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
4. Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang, dan menghargai penjelasan alternatif.
Tahap penelitian memiliki lima tahap. Tahap pertama, Suchman dengan cermat menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi sehingga siswa mulai berhasrat untuk menyelidikinya lebih dalam. Tahap kedua, setelah guru menyajikan situasi yang membingungkan, siswa diminta atau bahkan secara otomatis akan mengajukan pertanyaan. Setiap pertanyaan, bagaimanapun harus dijawab dengan kaya “ya” dan “tidak”. Siswa mungkin tidak akan meminta guru untuk menjelaskan fenomena tersebut pada mereka terdahulu. Kemudian siswa meminta guru untuk mengecek kebenaran hipotesis yang telah dikembangkan.
Siswa terus mengajukan pertanyaan. Kapan pun siswa mengucapkan pertanyaan yang tidak dapat di jawab dengan ya dan tidak, guru harus mengingatkan siswa tentang pola-pola pertanyaan yang diperbolehkan atau meminta siswa mengutarakan pertanyaan tersebut dari sudut pandang lain yang lebih sesuai.
Tahap ketiga, setelah fakta dikumpulkan, siswa mulai diminta untuk mencoba mengembangkan hipotesis-hipotesis yang seluruhnya dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi melalui eksperimen. Pada tahap kempat, siswa mengolah informasi yang mereka dapatkan selama pengumpulan merumuskan hipotesis. Pada tahap kelima, siswa menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang telah mereka gunakan selama penelitian.
Perbedaan utama antara model pembelajaran inquiry training dengan model pembelajaran inkuiri umum adalah terletak pada proses merumuskan hipotesis. Model pembelajaran inquiry training mengembangkan suatu metode penemuan baru yang menuntun siswa merumuskan hipotesis melalui bertanya. Sedangkan model pembelajaran inkuiri umum merumuskan hipotesis setelah mengumpulkan masalah-masalah yang siswa hadapi (mengajukan pertanyaan) barulah kemudian siswa diminta untuk membuat jawaban sementaranya (merumuskan hipotesis).
Model pembelajaran inquiry training memiliki lima tahap pembelajaran, yaitu sebagai berikut :
Fase I : Menghadapkan pada masalah
• Menghadapkan siswa dengan situasi yang membingungkan (masalah).
Fase II : Merumuskan hipotesis
• Mengajukan pertanyaan dimana pertanyaan tersebut sudah
mengandung jawaban.
Fase III : Pengumpulan data-eksperimentasi
• Memisahkan variabel yang relevan.
• Menghipotesiskan (serta menguji) hubungan kausal.
Fase IV : Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan
• Memformulasikan aturan dan penjelasan.
Fase V : Analisis proses penelitian
• Menganalisis strategi penelitian dan mengembangkan yang paling efektif.

google+

linkedin