22 November, 2010

Meneropong Tumbuh Kembang Anak Perspektif Sosial Budaya

Post oleh : Siger property | Rilis : 09.40 | Series :
"Putramu bukanlah putramu.. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri. Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu. Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu sebab mereka memiliki pendirian sendiri. Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi. Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu. Engkau adalah busur dari mana bagai anak-anak panah kehidupan putra-putrimu melesat ke depan". (Kahlil Gibran, Sang Nabi). 

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Urie Bronfenbrenner (1990) memetakan aspek pengembangan secara komprehensi melalui teori ekologi yang memetakan 5 sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, seperti, pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). 

Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Di samping optimalisasi keempat sistem tersebut, perlu dilakukan upaya penanganan yang tepat terhadap berbagai kemungkinan kondisi kritis dan transisional pada anak. 

Dalam teori perkembangan anak sebagaimana disampaikan Prof Urie Bronfenbrenner, tumbuh-kembang anak tidak akan terpisahkan dari kelima sistem interaksi seperti tersebut di atas. Pada proses interaksi inilah banyak institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak. Oleh karena itu, orangtua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang ia inginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses sosialisasi. 

Proses Sosialisasi dapat dijelaskan melalui kerangka A-G-I-L (Adaption, Goal Attainment, Integration dan Laten Pattern) yang diperkenalkan oleh Sosiolog Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (T. O. Ihromi, 2004). Fase-fase tersebut dalam proses sosialisasi anak dijelaskan sebagai berikut:  
1. Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”. 
2. Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. 
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. 
4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri. 

Menurut Sosiolog George Ritzer (1969:114) dalam T. O. Ihromi (2004), orangtua bukanlah satu-satunya pihak yang akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak, akan tetapi orangtua merupakan significant other bagi anak dan role model bagi seorang anak dalam proses pembentukan kepribadiannya. Dengan demikian pada tahap awal, orangtua memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai budi pekerti pada anak. Karena orangtua merupakan sosok pertama dan utama dalam melindungi, merawat, dan mencurahkan kasih-sayang sebelum anak mengenal orang lain. Di Indonesia orangtua mengenal istilah asuh, asah dan asih yang dijadikan pola untuk mendidik putra-putrinya. 

Pola asuh adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih menyangkut pada perawatan dan perlindungan anak yang sangat menentukan pembentukan fisik dan mental anak. Pola asah menyangkut perawatan anak dalam menyuburkan kecerdasan majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Pola asah ini meliputi pembentukan intelektualitas, kecakapan bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan dalam mengolah gerak tubuh. Sedangkan pola asih merupakan perawatan anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual sehingga mampu menyuburkan rasa kasih sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat. Pola asih ini akan mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak, emosi dan perilaku. 

Pola asuh, asah dan asih orangtua terhadap anak dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar belakang budaya, status sosial-ekonomi, kondisi geografis, dan pemahaman nilai-nilai. Dengan demikian, masing-masing ranah kebudayaan memiliki pola asuh, asah dan asih yang berbeda-beda. Orangtua di beberapa daerah menerapkan pola asuh, asah dan asih secara turun-temurun dari nenek moyang. 

Selanjutnya, dengan meminjam pisau analisis dari Teori Model Ekologi yang dikemukakan oleh Prof. Urie Bronfenbrenner (1979) yang mengurai adanya empat milieu yang mempengaruhi perkembangan anak, yaitu: tingkat mikro, meso, exo, dan makro, maka perspektif budaya ada dalam tingkat makro sehingga tingkat pengaruhnya sangat luas tetapi tidak langsung. 

Setidaknya ada empat area utama yang terkait dengan perspektif budaya dalam pengembangan anak usia dini, yaitu: bagaimana pandangan orang tua dan masyarakat terhadap anak; bagaimana pattern yang umum terjadi dalam masyarakat di dalam upaya mengasuh, mengasah dan mengasih (pola asuh, asah, dan asih); bagaimana ketersediaan dan jenis permainan yang ada dalam masyarakat; serta mendalami intensitas, pengaruh dan upaya pembatasan interaksi anak dengan media massa, utamanya televisi. 

PANDANGAN ORANG TUA DAN MASYARAKAT TERHADAP ANAK 
Sebagian besar masyarakat Indonesia melihat kehadiran seorang anak sebagai anugrah yang luar biasa sehingga sangat dinantikan oleh anggota keluarganya. Refleksi syukur atas kehadiran anak ditunjukan dengan hadirnya berbagai upacara untuk menyambut kehadiran anak semisal di Yogyakarta ada: 
Brokohan yang ditujukan untuk memohon keselamatan dan agar bayi menjadi anak yang baik yang dimulai dengan penanaman ari-ari dan pembagian sesaji kepada tetangga; 
Puputan yang ditujukan untuk memohon keselamatan bagi bayi yang dilaksanakan pada saat tali pusat putus dengan mengadakan kenduri, bancakan dan pemberian nama bayi; 
Sepasaran yang ditujukan untuk memohon keselamatan bagi bayi ketika bayi memasuki hari kelima yang dilaksanakan setelah magrib; 
Selapanan yang ditujukan untuk keselamatan bayi, dilakukan pada hari ke-36 sesuai dengan weton atau hari pasaran kelahiran si bayi; dan 
Thedak sinten yang ditujukan untuk memohon keselamatan dan harapan agar bayi cepat berjalan dengan adanya peristiwa turun tanah; serta 
Sapihan yang ditujukan untuk memohon keselamatan dan menolak bala yang dilaksanakan pada saat bayi sudah tidak menyusui lagi pada ibunya. 

Di samping keenam upacara di atas ada juga upacara khusus, yaitu tetesan yang dikhususkan untuk bayi perempuan dan khitanan untuk bayi laki-laki. Anjuran lain dalam tradisi di Yogyakarta adalah anjuran untuk mengganti nama bayi yang “keberatan nama”, serta bayi yang wetonnya sama harus dipisah. Dalam rangkaian upacara tersebut ada juga tradisi memantang, diantara makanan yang dipantang adalah: sambal, sayur bersantan, telur ikan tawar, telur asin, ikan tawar, telur, dan makanan yang berbau amis. 

Di tempat lainnya seperti Sumatera Barat, kehadiran seorang anak merupakan hal yang sangat penting dalam tradisi Minangkabau sehingga menjadi indikator kelangsungan pasangan suami isteri. Bahkan kehadiran anak bukan hanya menyangkut keberlangsungan keluarga tetapi juga keberlangsungan kaum dan suku. Berdasarkan pandangan hidup (weltanschauung) yang demikian, keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar akan menyambut kelahiran seorang anak dengan suka cita yang ditunjukkan dengan kunjungan keluarga dan masyarakat kepada ibu yang melahirkan dan kepada anaknya. Di samping adanya kunjungan, beberapa upacara juga dilakukan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas anugrah kelahiran tersebut. Di dalam masyarakat perdesaan, perhatian terhadap kehadiran anak juga ditunjukkan oleh semua pihak sehingga perawatannya bukan hanya tanggung jawab orang tua tetapi juga merupakan tanggung jawab keluarga, baik itu nenek, mama dan bibi. Semuanya terlibat dalam mendidik dan merawat anak melalui berbagai tahapan upacara menyambut kelahiran anak, seperti upacara tujuh bulanan dan upacara turun mandi di mana bayi dimandikan untuk kemudian dipotong rambutnya. Setelah rambutnya dipotong lalu diasapi dan terakhir dimandikan lagi oleh seorang dukun. Perpaduan agama dan budaya juga terjadi dalam tradisi masyarakat Minang dalam menyambut kehadiran anak, seperti upacara kekah atau aqiqah. Jika kita telusuri semua suku bangsa di Indonesea, hampir semuanya memiliki tradisi penyambutan terhadap kehadiran seorang anak dengan gradasi dan kualitas yang bervariasi sehingga dapat diambil benang merah bahwa kehadiran anak dinantikan semua orang karena mampu menjadi penyejuk mata hati (qurrata ‘ayun). 

POLA ASUH, ASAH DAN ASIH 
Keluarga merupakan komponen masyarakat terkecil di mana orangtua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian karena sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orangtuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak selanjutnya. Segall, et al., (1990) menyebutkan bahwa ‘the developmentalniche’ memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu: (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2) pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek - praktek pendidikan, dan (3) karakteristik psikologis orangtua. Secara lebih tegas Fuhrmann (1990: 108) menyatakan, jika suatu faktor dapat dipisahkan sebagai faktor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan anak, faktor itu jelas faktor keluarga atau orangtua. Unit keluarga, meskipun berubah secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi utama. 

Dengan cara apa dan bagaimana orangtua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orangtua tentang anak (anak di mata orangtua). Cara-cara yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak tersebut akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Pada dasarnya ada tiga cara pandang orangtua terhadap anak, yaitu: 
anak dipandang sebagai obyek, 
anak dipandang sebagai subyek, dan 
anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek. 
Orangtua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritarian dalam mengasuh anak; dan orangtua yang memandang anak sebagai subyek, cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez-faire dalam mengasuh anak; sedangkan orangtua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritative dalam mengasuh anak. Baumrind seorang ahli psikologi mengemukakan tiga tipe orangtua dengan karakteristiknya, yaitu: orangtua authoritarian, orangtua permissive, dan orangtua authoritative (Baumrind dalam Lerner & Hullsch, 1983:282- 283). 

Orangtua authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap-sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Orangtua ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang ‘kehendak diri’ anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut orangtua. Norman, Richard, dan Sharon (1994 : 557) menambahkan bahwa pendekatan authoritarian menekankan pada kepatuhan yang keras, tanpa variasi ataupun negosiasi, dan kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Pendekatan ini terutama direkomendasikan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku. 

Orangtua permissive mencoba untuk mereaksi terhadap perilaku hasrat dan keinginan, impuls-impuls anak, dengan cara tidak menghukum tetapi menerima, mengiakan atau membolehkan. Orangtua ini tidak menawarkan dirinya kepada anak sebagai ‘agen’ yang aktif dan bertanggung jawab terhadap pembentukan atau modifikasi tingkah laku anak saat ini atau di masa depan. Orangtua tipe ini menjadikan dirinya sebagai sumber penghidupan (resource) bagi anak, dan menuruti keinginan atau kehendak anak. Menurut Norman, Richard dan Sharon (1994: 557), pendekatan permissive atau laissez-faire menekankan pada kebebasan anak untuk berbuat atau beraktivitas dalam mengembangkan dirinya. Dasar pertimbangannya bahwa anak memiliki hak dan kebebasan dan harus diberi kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Hetherington & Parke (1993) menyebutkan, orangtua permissive adalah longgar secara berlebihan dan disiplin yang diterapkan tidak konsisten. 

Sedangkan, tipe orang tua authoritative menurut Hoffman (1970), berusaha menunjukkan atau mengatur aktivitas anak mereka dengan cara-cara yang berpusat pada isu rasional. Orangtua berusaha merangsang tingkah laku yang diinginkannya pada anak melalui penjelasan-penjelas an dan mempertimbangkannya dengan anak. Orangtua tipe ini memberikan dorongan lisan (verbal) ‘saling memberi dan menerima’ serta mengizinkan anak untuk duduk bersama-sama untuk ikut mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik policy mereka. Orangtua ini menggunakan kontrol tegas tetapi pada tingkat yang tidak terlalu membebani anak dengan retriksi atau kekangan. Orangtua authoritative berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan dan induksi (prabawa) dalam membesarkan anak dengan aturan-aturan yang dilihat sebagai hak dan kewajiban bersama yang saling melengkapi antara orangtua dan anak. (Baumrind, 1968: 261). 

Steinberg (1993) menambahkan bahwa orangtua authoritative adalah hangat tetapi tegas. Mereka menggunakan seperangkat standar untuk mengatur tingkah laku anak tetapi membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan anak. Mereka menekankan nilai yang tinggi pada perkembangan otonomi dan pengarahan diri, tetapi bertanggung jawab penuh terhadap perilaku anak. Para orangtua ini menanamkan kebiasaan-kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah dan menyenangkan dalam perbincangan dan penjelasan di seputar persoalan disiplin dengan anak-anak mereka. 
Setiap pendekatan yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak seperti yang diuraikan di depan, jelas memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak. 

Hurlock (1997) menyebutkan disiplin otoriter yang keras (‘authoritarian’), disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah, perasaan yang dapat dan sering berkembang menjadi kompleks martir. Pendekatan disiplin otoriter dan disiplin lunak (‘permissive’) dalam keluarga, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian pada anak. Disiplin yang demokratis (‘authoritative’) biasanya menghasilkan hubungan yang baik dan harmonis dalam keluarga. 

Hasil penelitian Baumrind dalam Heterington & Parke (1993 : 431) menunjukkan dampak pola pengasuhan orangtua terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak adalah sebagai berikut. Pola pengasuhan permissive menyebabkan anak bersifat menurutkan kata hati, mau menang sendiri dan agresif. Akibat lainnya seperti: menentang, tidak mau mengalah terhadap orang dewasa atau orangtua, kepercayaan diri rendah, orientasi untuk berkompetisi dan berprestasi rendah, kontrol diri sangat kurang, cepat marah, tanpa tujuan dan lemah dalam mengarahkan tujuan-tujuan aktivitasnya, serta bersifat menguasai dengan keras sekali. Pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stres atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah. Sedangkan, pola pengasuhan authoritative, menyebabkan anak giat atau penuh semangat dan ramah tamah. Dampak lain dari pola pengasuhan authoritative adalah percaya diri, kontrol atau mawas diri baik, periang atau menyenangkan, mampu bergaul dengan baik antarteman sebaya, mampu mengatasi stres atau tekanan dengan baik, memiliki perhatian dan rasa ingin tahu pada cerita roman, dapat bekerja sama dengan baik dengan orang dewasa, taat atau mudah diatur, mempunyai tujuan tertentu, dan berorientasi prestasi.. Selain itu anak akan selalu berpikir rasional dan punya semangat kompetisi yang sehat. 

Menyimak hasil-hasil penelitian di atas, maka contoh berperilaku yang baik dari orangtua atau orang dewasa lainnya di manapun berada (di rumah, di kantor, atau di lingkungan pergaulan masyarakat) kepada anak-anak sangatlah diperlukan. Dengan begitu anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkepribadian dan berperilaku yang baik pula, dan terhindar atau menghindari perilaku kekerasan. Tetapi sebaliknya, jika contoh perilaku kekerasan yang disaksikan dan dirasakan anak sepanjang hidupnya, maka akan kita saksikan generasi yang cenderung berorientasi pada tindak kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ia hadapi. 

Anak sering kali dianggap sebagai pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa. Akibatnya, orang tua merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak (Kohn, 2006). Pengertian sempit dan paradigma keliru ini terus berkembang sehingga banyak diajarkan baik di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru atau orang dewasa lain. Mereka sama sekali tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan (Kohn, 2006). Pandangan demikian akhirnya terus berkembang dan sering membuka peluang terhadap berbagai tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan salah terhadap anak. Seolah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. 

Keluarga dalam hal ini orang tua mempunyai peranan penting dalam pembentukan identitas, seperti yang dikemukakan Grotevant & Cooper (dalam Archer, 1994;98) bahwa peran penting kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada interaksi orang tua dengan anak; yang dalam hal ini disebut pola pengasuhan. Hauser dkk (dalam Papini,1994) membedakan pola pengasuhan orang tua menjadi enabling dan constraining. Aspek pola pengasuhan orang tua terdiri dari aspek kognitif dan afektif. 
Aspek kognitif ditandai oleh 
tindakan pemusatan pada pemecahan masalah, 
keterlibatan dalam eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu, 
keterbukaan dalam perbedaan pandangan anggota keluarga. 
Sedangkan aspek afektif ditandai oleh 
ekspresi empati dan 
penerimaan terhadap anggota keluarga. 
Perilaku orang tua yang termasuk enabling dalam aspek kognitif dicirikan dengan mengajak mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutan, turut membantu dalam pemenuhan rasa ingin tahu yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutan, memberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan serta memberikan pertimbangan tentang masalah-masalah yang dihadapi. Begitu pula dalam aspek afektif ditandai dengan menanggapi dan menghargai pandangan dan keputusan anak dalam perlakuan-perlakuan tersebut, akan memberikan peluang pada anak untuk tidak sungkan bertanya, bertukar pendapat, belajar dan berlatih mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutannya. Apabila anak merasa dihargai pendapatnya atau keputusannya, anak akan merasa bertanggung jawab atas keputusan yang ditetapkannya. Dengan demikian pola pengasuhan enabling akan mendukung terhadap kelancaran eksplorasi dan komitmen. 

Pola pengasuhan constraining dalam aspek kognitif ditandai dengan sikap tidak memberikan peluang untuk belajar menyelesaikan masalah sendiri, tidak terlibat dalam pencarian informasi dan tidak memberikan informasi yang jelas apabila terdapat perbedaan pandangan dalam masalah keluarga. Pada aspek afektif menunjukkan tidak menghargai pendapat anggota keluarga, suka memberikan penilaian yang berlebihan atau merendahkannya. Dengan perlakuan-perlakuan tersebut, anak merasa sungkan untuk bertanya, untuk menerima pendapat, merasa dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah, merasa tidak dihargai pendapat atau keputusannya. Dengan demikian pola pengasuhan constraining akan menghambat kelancaran eksplorasi dan komitmen. 

Di Amerika, trend memasukkan anak dalam program tersebut sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh para wanita yang bekerja sehingga mereka harus menitipkan anaknya. Di Indonesia sendiri, kecenderungan untuk memasukkan anak dalam program child day-care tampaknya sudah mengalami perubahan karena anak-anak yang mengikuti program bukanlah disebabkan karena ibunya harus bekerja sepanjang hari. Sekarang ini, memasukkan anak dalam program child day-care lebih banyak dipengaruhi oleh alasan trend atau mode sehingga seringkali lupa untuk melihat pada kebutuhan sebenarnya dari sang anak. Tidak jarang anak-anak tersebut dimasukkan oleh orang tuanya karena mereka tidak mau repot-repot untuk mendidik atau mengajari beberapa ketrampilan pada anak-anak mereka; atau karena para orang tua berpikir, semakin cepat dimasukkan ke day-care program, anak mereka akan semakin cepat pintar. 

Pengasuhan harus diarahkan untuk menyuburkan perkembangan kecerdasan majemuk (multiple inteligensia). Menurut Sudjatmiko kecerdasan multipel adalah berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain verbal-linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan); logical–mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi); bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga); musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama); intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri); interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain); dan naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan). 

PENTINGNYA PERMAINAN ANAK 
Pola asuh anak juga tidak terlepas dari budaya bermain anak. Dalam literatur Psikologi Perkembangan, anak usia 0-6 tahun adalah seorang “peniru ulung” dan sekaligus “pembelajar ulet”, tapi bukan seorang “pendengar yang baik”. Anak seusia ini akan lebih mudah belajar dan paham dengan melakukan aktifitas, bukan dengan diceramahi atau sekadar kata-kata. Oleh karena itu, anak usia dini memerlukan aktifitas bermain untuk merangsang perkembangan syaraf. 

Permainan-permainan tradisional, yang kini telah banyak dihilang tergantikan oleh permainan modern, mampu memacu perkembangan syaraf anak secara seimbang. Sehingga anak tidak hanya pintar secara intelektual, tapi juga cerdas secara emosional, spiritual dan sosial. Sedangkan permainan modern cenderung mendidik anak untuk bersikap individual, egois, dan anti sosial. 

Di beberapa daerah mengenal beberapa permainan tradisional untuk anak-anak. Semisal, permainan tepuk ame-ame dapat memacu keseimbangan otak kanan dan otak kiri; permainan dhakon dapat membantu anak untuk memahami strategi untung-rugi; permainan ciluk ba dapat merangsang kecerdasan emosional dan sosial anak. 

Menurut Freud dan Erikson (Santrock, 1998) bermain bagi anak sangat berguna sebagai salah satu bentuk penyesuaian diri, membantu anak menguasai kecemasan dan konflik yang dihadapinya. Permainan diyakini mampu meredakan ketegangan sehingga membantu anak dalam menyelesaikan masalah dan konflik yang dihadapi dalam hidupnya. 

Mengacu Nikita (2001) dan Tedjasaputra (2001) secara lebih spesifik, setidaknya 5 manfaat permainan untuk perkembangan anak, yaitu: 
1. Fisik-motorik. Permainan akan mampu melatih motorik kasar dan halus anak sehingga otot-otot tubuh anak akan terbentuk secara baik, sehat dan seimbang.
2. Sosio-emosional. Dengan bermain anak akan merasa senang karena ada teman, pada tahun-tahun pertama teman bermain adalah orang tua sehingga orang tua menjadi teman pertama dan utama bagi anak. Permainan akan semakin mendekatkan anak dengan orang tuanya sehingga anak merasa disayangi, di samping itu permainan akan merangsang anak untuk berkomunikasi dua arah.
3. Kognisi. Permainan akan membuka cakrawala baru sehingga anak dapat belajar, mengenal, dan mengalami obyek-obyek yang baru, seperti: permukaan yang hasul atau kasar, dan rasa yang manis atau pahit. Di samping itu permainan akan menambah perbendaharaan kata, bahasa, dan kesempatan komunikasi secara timbal balik. Setahap demi setahap ketika bermaian anak akan mulai memperhatikan sesuatu, memusatkan perhatian, dan mengamati obyek tertentu.
4. Kepribadian. Dengan bermain anak dapat berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga anak memiliki kemampuan untuk menilai diringan dibandingkan dengan teman-temannya, baik dari aspek kelebihan maupun kekurangan. Identifikasi ini akan membantu dalam pembentukan konsep diri yang positif yang akan menumbuhkan rasa percaya diri anak karena ia memiliki kelebihan tertentu. Interaksi anak bersama teman-temannya akan melatih anak untuk bersikap dan bertingkah laku yang baik, seperti: jujur, sportif dan ramah agar dapat diterima dan bekerja sama dengan teman-teman sebayanya.
5. Kreatifitas. Permainan akan memberikan ruang untuk anak berimaginasi sehingga mampu mengekplorasi dan memanipulasi alat permainnya. Ekplorasi ini secara perlahan akan mampu mengasah kemampuan dan kreatifitas anak. Kreatifitas ini berujud dalam dua proses, yaitu : (1) developing new idea, dan (2) exploring idea. 

Isenberg & Jacobs (1982) memetakan secara lebih detail manfaat permainan dalam pengembangan kemampuan anak yang meliputi delapan (8) aspek, yaitu: (1) ideas and their vocabulary: (2) language development; (3) number ideas; (4) thinking skills; (5) symbolic representation; (6) measurement; (7) estimation; dan (8) perceptual-motor skills. 
Psychologist Mildred Parten (1933) mencatat perubahan atau perkembangan pola permainan anak dari umur 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun berdasarkan 5 (lima) tahap: (1) Permainan soliter, yaitu pada tahap ini anak cenderung bermain sendiri secara bebas sekalipun diselilingnya banyak anak-anak. Tahap ini biasanya terjadi pada anak usia 2 tahun; (2) Permainan paralel, yaitu masing-masing anak bermain pada kegiatan dan waktu yang sama. Anak menyadari akan kehadiran teman-teman sebaya namun tetap terpisah dan sibuk dengan permainannya sendiri; (3) Permainan bersama, yaitu pada tahap ini anak masih tetap fokus pada pola bermain secara terpisah, tetapi sudah mulai memperhatikan teman sebaya di lingkungannya, sudah mulai saling berbagi, saling pinjam alat permainan, saling bertukar kegiatan, dan bergabung dengan kegiatan teman-teman yang lain. Biasanya tahap ini terjadi pada anak usia 3 – 4 tahun; (4) Permainan kooperatif, yaitu merupakan tahap permainan paling tinggi yang menunjukkan kematangan sosial dan kognitif anak. Anak-anak mulai mampu mengorganisasi permainannya dan mampu bersosialisasi dengan teman sebaya. 
Teori Parten tersebut di atas mempengaruhi pola pikir dan kebijakan para praktisi, pengajar, dan orang tua di Euro-American. Mereka cenderung menekankan manfaat kognitif permainan anak dan pengakuan kemampuan sosial masing-masing individu melalui bermain. Sementara itu, orangtua di Asia, Afrika, atau Hispanic-American cenderung berorientasi pada kelompok, interaksi dengan keluarga ataupun kelompok lain, bukan pada permainan. 

Dalam konteks Indonesia, Kajian Hikmah terhadap permainan “kuba-Kuba” di Jawa Tengah (2006 dalam Yuliani Nuraeni 2007) menemukan setidaknya ada delapan (8) aspek keterampilan yang dapat dikembangkan dalam permainan anak, yaitu: (1) intrapersonal (mengatur dan memahami emosinya sendiri); (2) interpersonal (perasaannya peka dan berinteraksi dengan temannya); (3) kinestetik (belajar melempar dan kecekatan gerak tubuh); (4) naturalistik (mengenal bahan alam dan lingkungan); (5) visual-spasial (mengenal dan memahami objek); (6) bahasa (berkomunikasi sebelum, selama dan sesudah bermain); (7) logika-matematika (menghitung, memperkirakan, strategi); dan (8) spiritual (berdoa sebelum bermain). 

Dengan demikian, permainan memiliki peran yang penting dan signifikan dalam tumbuh kembang anak utamanya dalam mengoptimalkan kecerdasan majemuk anak (multiple intelligence). Oleh sebab itu, optimalisasi alat permainan tradisional yang mampu mengembangkan kecerdasan majemuk perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Diharapkan alat permainan tidak saja mampu merangsang kecerdasan anak tetapi juga memperkenalkan identitas dan keunikan bangsa terhadap anak sejak dini. 

Penelitian yang dilakukan oleh Mustaq Firin (2003) menemukan sedikitnya 172 jenis permainan anak yang tersebar di sebagian kabupaten dan kota di pulau Jawa. Penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul, Kulonprogo, Kebumen, Kota Semarang, kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pacitan, Kota Surabaya, Kota Bogor dan DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan besarnya manfaat alat permainan anak dalam mengembangkan kemampuan anak. Hasil penelitian tersebut memetakan 24 aspek untuk pengembangan kemampuan anak yang ada dalam permainan tradisional yang meliputi: ideas & their vocabulary; oral communication; rhyming words; conting; one-to-one correspondence; cardinality; ordinality; equality and inequality; natural of materials; calssifying; planning; decision making; patterning; seriation; developing new idea; exploring idea; symbolic representation; measurement; estimation; eye-hand coordination; directionality; visual discrimination; visual imagery; and other perceptual motor skills. Di antara ke 124 aspek yang selalu ada dalam hampir semua permainan adalah ideas and their vocabulary, yaitu sebanyak 114 permainan, disusul oleh oral communication untuk 80 permainan. Kesimpulan dari penelitian Mustaq Firin tersebut adalah: (1) beragamnya alat permainan yang ada dengan kemampuan rangsangan yang beragam pula; dan (2) intensifnya kemampuan alat permainan dalam mengembangkan kemampuan anak, dengan kata lain, semua lat permainan mampu mengasah kemampuan yang dibutuhkan anak secara intensif, memadai dengan biaya dan kemudahan dalam membuatnya. 

Dengan demikian, permainan anak tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia sangat beragam. Untuk mendapatkan alat permainan tradisional tersebut cukup mudah dan murah karena dapat diperoleh di pasar tradisional dan pasar malam yang hanya ada beberapa kali saja dalam setahun. Kelemahan alat permainan tradisional adal aspek keamanan untuk dimankan anak-anak usia dini. Oleh karena itu pemilihan cat, bahan logam maupun finishingnya masih terlihat kasar sehingga perlu perhatian dan pemberdayaan produsennya agar mampu menjamin keamanan alat tersebut. 


PERAN TELEVISI 
Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga masyarakat. 

Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik. 

Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama: menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa. 

Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna yang berasal dari masyarakat, baik karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat, maupun berasal dari orientasi kultural pelaku media.. Dari sini media dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/atau politik) dengan memproduksi kultur dominan untuk pengendalian (dominasi dan hegemoni) masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi dan independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat. 

Secara teoretis, media massa memegang peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool).[2] Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan. 
Pemetaan dampak media massa yang cukup memadai dikemukakan oleh John T. McNelly (Zulkifli, 1996) yang dikenal dengan McNelly’s Four Position, yaitu: (1) sudut pandang nol (null position) yang menyatakan bahwa media massa memiliki sedikit peranan atau bahkan tidak memiliki peranan sama sekali; (2) sudut pandang antusias yang melihat media massa memiliki peran yang besar; (3) cautions position yang menganggap media massa memiliki peranan namun bukan sebagai elemen utama dalam menentukan ada tidaknya perubahan; (4) sudut pandang pragmatik yang melihat bahwa berperan atau tidaknya media massa haruslah ditempatkan secara kontekstual. 

Berdasarkan peta di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam skala minimal sekalipun media massa memiliki peran. Model efek terbatas (limited effect model) yang dianggap paling minimal dan pesimis dalam melihat efek media massa menyatakan bahwa sekecil apapun media massa tetap memberikan efek. Ada lima jenis media masa yang dikenal sebagai "The big five of mass media" yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran. Televisi diyakini mempunyai pengaruh yang sangat kuat karena mampu memadukan kekuatan audio dan visual sehingga orang dapat melihat dan mendengar secara utuh dan menjadi lebih percaya. Apa yang tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna. Beberapa ahli menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi. Sedangkan efek jangka panjang adalah berupa habituation, yaitu orang menjadi terbiasa melakukan apa yang dilihatnya di televisi. Akibatnya orang menjadi tidak peka, permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri. Wirodono (2005) menyorot televisi karena mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak. Wirodono mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring, yaitu proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak sempurna. Padahal anak-anak yang menonton televisi tidak selalu mempunyai pengalaman empiris sehingga gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu konsentrasi mereka. 

Begitu besarnya pengaruh TV terhadap anak-anak, sampai-sampai pendiri organisasi Action for Children Television, Peggy Chairen, memperingatkan bahwa tidak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka. Besarnya pengaruh itu, kata psikolog UI Prof Dr Fawzia Aswin Hadis (Republika, 5/6/2005), karena anak-anak memang berada pada fase meniru. Anak-anak adalah imitator ulung, dan karena itu akan cenderung meniru adegan yang ditonton di TV. Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun. 

Barangkali, masalahnya tidak mengkhawatirkan jika yang ditiru adalah adegan dan perilaku yang positif. Tapi, kenyataannya, justru bukan perilaku positif yang menarik bagi anak-anak dan menebar di layar TV. Penelitian Sri Andayani & Suranto (1997) terhadap film-film kartun Jepang Sailor Moon, Dragon Ball dan Magic Knight Ray Earth menunjukkan lebih banyak adegan anti sosial ketimbang adegan pro sosial (58,4% : 41,6%). Temuan diperkuat oleh studi YKAI yang mendapati adegan anti sosial lebih dominan (63,51 %). Bahkan adegan-adegan anti sosial pula yang banyak didapati pada film-film kartun anak-anak yang sedang populer saat ini, seperti Sponge Bob Square Pans dan Crayon Sincan. 

Hal ini diperparah dengan adanya persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat sehingga mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal penonton televisi sangatlah beragam, di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya sehingga banyak muncul cerita sinetron kita yang tidak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat kita (Tini Hadad, 1997). 


PENUTUP 
Tradisi yang berkembang dalam masyarakat ada yang kondusif untuk perkembangan “si Upik” juga ada yang menghambat tumbuh kembang “si Upik” untuk itu, diperlukan kemampuan untuk mengambil tradisi yang baik dan menghilangkan tradisi yang kurang baik. Hal ini sejalan dengan adagium klasik yang menyatakan “almuhafadzah alal-qadiimi al-shalih wa al-ahdu bi al-jadied al-aslah”, menjaga yang lama yang baik dan melakukan inovasi baru yang lebih baik. Tradisi baik misalnya sambutan hangat terhadap kehadiran seorang anak yang melahirkan aroma keceriaan anak, adapun contoh budaya yang kurang kondusif adalah kuatnya budaya patriarkhi yang menomorsatukan laki-laki terutama bapak dalam berbagai hal termasuk penyediaan makanan sehingga bayi kurang mendapat perhatian dan menu khusus yang berakibat pada munculnya berbagai kasus kekurangan gizi pada bayi atau masih adanya anak yang dijadikan sumber daya ekonomi dengan menjadi pekerja anak yang kadang juga dibarengi dengan kekerasan fisik dan mental terhadap anak. 

Tingkat pendidikan perempuan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bervariasi dan umumnya didominasi oleh pendidikan rendah dengan ekonomi yang terbatas berdampak pada beragamanya pola dan kualitas pengasuhan pada anak. 

Indonesia memiliki kekayaan permainan anak tradisional yang luar biasa. Namun dii beberapa daerah, permainan tradisional mulai banyak ditinggalkan dan dilupakan di sisi lain alat permainan modern belum cukup tersedia sehingga tidak cukup alternatif bagi anak dalam mengembangkan kecerdasan majemuknya. Di samping itu, ada beberapa permainan tradisional yang tidak aman bagi anak sehingga mengkahawatirkan. Selajutnya, beberapa permainan modern cenderung membuat anak menjadi individual, soliter, dan anti sosial. Pembedaan jender juga masih berlaku di sebagian besar permainan anak tradisional. 
Tingginya intensitas penggunaan televisi tidak dibarengi dengan berkembangnya budaya dan melek media (media literacy) sehingga orang tua memiliki keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam mendampingi anaknya yang menonton televisi. Hal ini mengakibatkan perubahan perilaku anak yang menjadi cepat dewasa secara seksual dibandingkan kematangan umur dan mentalnya. Hal ini diperparah dengan banyaknya visualisasi kekerasan yang gampang ditiru oleh anak sehingga berkembang perilaku agresif dan kecenderungan melakukan kekerasan di kalangan anak-anak. Berbagai acara televisi menawarkan berbagai tayangan menarik ke ruang pribadi keluarga dan anak sehingga banyak waktu yang terbuang untuk menonton televisi yang secara bertahap memunculkan sikap malas belajar karena tergoda tayangan televisi. 

Untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut diperlukan upaya sebagai berikut:
1. Menggali dan mempromosikan berbagai tradisi dan budaya lokal yang konstruktif dalam pengasuhan anak dan meminimalisasi tradisi lokal yang tidak konstruktif.
2. Melakukan sosialisasi dan advokasi pola asuh, asah, dan asih yang holistik dan terintegrasi, termasuk mendorong pada penggunaan pola asuh yang positif berdasarkan kearifan lokal (local genius and wisdom) dan mengarahkan pada proses tumbuh kembang, interaksi, dan sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
3. Mensinergikan permainan tradisional dan modern dalam memperkuat kecerdasan majemuk anak, serta mendorong berkembangnya alat permainan anak yang ramah jender (gender friendly).
4. Revitalisasi permainan tradisional anak-anak nusantara antara lain melalui pemetaan, pengenalan dan promosi, serta mendorong terwujudnya kerjasama yang sinergis antar pihak terkait dalam upaya melestarikan permainan tradisional.
5. Memperkuat sinergi Komisi Penyiaran Indonesia dan pemerintah dalam menata dan mengatur ruang publik, khususnya program dan frekuensi televisi yang ramah anak.
6. Melakukan berbagai komunikasi, sosialisasi dan edukasi dalam meningkatkan tingkat melek media (media literacy) orang tua sehingga mampu menyikapi kehadiran televisi secara arif dan peduli untuk mendampingi dan membimbing anaknya ketika menonton televisi.
7. Menumbuhkembangkan berbagai partisipasi dan keswadayaan masyarakat dalam


google+

linkedin